Lo Siauw Gok

Posted by Stephan Loe Labels:

Tiong Tee Eng Hiong
(Pria Gagah yang Setia dan Berkebajikan)


“Pria Gagah yang Setia dan Berkebajikan” adalah julukan yang diberikan oleh para murid Siauw Gok Bu Koan kepada Sang Maestro yang merintis perguruan ini dari nol. Tidak banyak cerita ataupun cacatan sejarah resmi mengenai Guru Besar Lo Siauw Gok. Anak tertua di Indonesia dari Shinshe Lo Ban Teng dari istrinya yang bernama Go Bin Nio ini lahir pada tanggal 9 Desember 1930.

Lo Siauw Gok sejak kecil telah menjadi tumpuan harapan ayahnya untuk meneruskan warisan ilmu Kun Tao maupun ilmu pengobatan. Maka, iapun dilatih keras oleh ayahnya siang dan malam. Tapi, seperti remaja pada umumnya, ia lebih suka bermain dan berpesiar daripada berlatih.

Pada masa sekolahnya, Siauw Gok sering terlibat perkelahian yang berujung kekalahan pada pihaknya. Hal itu menjadi ejekan teman-teman sebayanya karena mereka mengetahui bahwa ia akan menjadi pewaris dari Shinshe Lo Ban Teng yang terkenal, tapi malah kalah dalam berkelahi.

Memasuki masa remaja, mulai terbuka pikirannya mengenai seni bela diri ini, lalu bermaksud sungguh-sungguh mendalaminya. Hal ini sangat menyenangkan hati ayahnya yang kemudian menggenjotnya dengan latihan yang sangat berat. Ketika melakukan kesalahan, Lo Siauw Gok remaja akan dimaki habis-habisan. Begitu juga saat latihan fisik seperti Ngo Ki (tangan), dan Kong Ka (kaki) ia merasakan gemblengan yang begitu berat.

Latihan yang berat dari ayahnya itu malah membuatnya patah semangat. Dia sudah ketakutan sebelum memulai latihan, apalagi kalau sudah mendengar suara langkah Shinshe Lo Ban Teng yang sedang menunggunya di loteng untuk memulai latihan. Calon pewaris muda inipun semakin hari semakin enggan untuk berlatih bahkan terbesit dalam pikirannya untuk mencari guru bela diri lain. Beruntung Ibunya dapat menengahi situasi ini. Untuk sementara Lo Siauw Gok cuti latihan.

Pada suatu hari datanglah seorang murid yang juga ahli beladiri berasal dari Tiongkok yang bermaksud menimbah ilmu di bawah bimbingan Shinshe Lo Ban Teng yang pada saat itu namanya telah terkenal baik di kota asalnya Tjiobee di propinsi Fu Jian, Tiongkok maupun di Jakarta. Sang Maestro meminta anaknya ini untuk berlatih Ngo Ki dengan murid tersebut. Semakin lama latihan bersama, ternyata Lo Siauw Gok tidak mampu lagi berlatih Ngo Ki dengan teman barunya ini.
Hal ini menjadi pergunjingan anggota keluarga yang lain. Bahkan ada juga anggota keluarga yang mengkritiknya dengan pedas : ” Kamu tidak mau belajar dengan giat, semakin ditegur ayahmu, kamu semakin malas. Kamu ini anak yang tidak berguna. Kalau ayahmu meninggal, pasti kamu menjadi gembel.”

Kritikan pedas ini ternyata benar-benar membuka pikiran dan mengobarkan semangatnya sehingga ia menemui ayahnya dan berlutut memohon ayahnya melatih dia kembali. Sang ayah sangat terharu dengan ketulusan anaknya itu sehingga menjanjikan kepada anaknya bahwa dalam waktu 3 bulan, anaknya itu akan memperoleh kemajuan yang pesat.

Setelah 3 bulan berlatih, Siauw Gok pun diminta ayahnya untuk kembali berlatih dengan murid yang dahulu datang meminta petunjuk itu. Hasilnya sungguh mencengangkan, hanya beberapa set melakukan Ngo Ki, murid itu tidak sanggup lagi menahan tangan pemuda ini. Peristiwa tersebut makin memantapkan hati Siauw Gok untuk berlatih sungguh-sungguh di bawah bimbingan Shin She Lo Ban Teng langsung. Sejak itu, sekeras apapun latihan yang didapatnya, ia terus berlatih dengan giat. Semakin keras semakin giat, kira-kira itulah mottonya.

Pada Bulan Desember 1950, Lo Siauw Gok menikah dengan seorang gadis bernama Kwee Hoen Nio yang kemudian memberikannya seorang putri bernama Lo Hak Soan (1953), dan dua orang putra yaitu Lo Hak Seng (1958, pewaris ilmu pengobatan), dan Lo Hak Loen (1963, pewaris perguruan dan ilmu Kun Tao).

Pada tahun 1952, Shinshe Lo Siauw Gok yang telah sempurna ilmunya itu pindah ke Bandung tepatnya di jalan Kopo dan membuka sebuah toko obat. Namun nasib kurang baik menimpanya, pada tahun 1954 rumah dan toko obatnya kebakaran.

Shinshe Lo Ban Teng yang mengetahui peristiwa itu segera meminta Lo Siauw Gok kembali ke Jakarta. Kemudian Shinshe muda ini menjadi wakil ayahnya mengajar di sana. Selama di Jelakeng, Sang Maestro muda inilah ditugaskan ayahnya untuk mengajar adik-adiknya serta para murid ayahnya.

Di Jakarta, ia menetap di Gang Pendidikan, sekarang dekat ITC Roxy Mas, Jakarta Pusat. Di sini lah awal mula terbentuknya Siauw Gok Bu Koan secara tidak langsung, dimana para murid berbakat yang nantinya sebagian besar menjadi asisten pelatih beliau ditempa. Atas seijin ayahnya beliau membuka sebuah tempat latihan di Gang Teratai, samping Restoran Angke, Jembatan Lima, Jakarta Barat.

Setelah itu pindah ke Kebon Kacang I, Tenabang (Tanah Abang), Jakarta Barat atas tawaran shinshe yang pernah meminta petunjuk kepada ayahnya dan berlatih bersama Siauw Gok dulu. Belum genap setahun, ia memindahkan lagi tempat latihan ke rumahnya. Sekitar tahun 1960, beliau membuka tempat latihan di daerah Sie Ho, Kota, Jakarta Pusat. Total murid di sini sekitar seratusan orang. Tempat latihan di Sie Ho tutup saat terjadinya peristiwa G 30 S PKI tahun 1965, dimana seluruh budaya yang berbau Tionghoa dilarang.

Setelah keadaan stabil, Shinshe Lo Siauw Gok mulai membuka latihan lagi tahun 1976 di rumahnya di gang anggur, Jembatan Dua, Jakarta Utara. Pewaris beliau, Lo Hak Loen yang ketika itu berusia 13 tahun mulai berlatih. Di sini lah tempat latihan terlama yang beliau dirikan. Pada usia 19 tahun, Lo Hak Loen mulai menggantikan ayahnya untuk melatih para murid. Pada era 1980-an, Guru besar ini pindah ke Tangerang tepatnya di perumahan batu ceper indah, hingga menjelang wafatnya pada tanggal 7 Juli 1991 Jenazah Lo Siauw Gok dikremasi dan abunya disebarkan di laut sesuai dengan permintaan terakhirnya. Lo Hak Loen sendiri pindah ke Taman Permata Indah II, Jakarata Utara, dimana disini juga didirikan Koan oleh Shinshe Lo Siauw Gok, dan dipegang langsung oleh Lo Hak Loen.

Menurut penuturan sejumlah muridnya, Lo Siauw Gok merupakan sosok yang karismatik, mudah bergaul, disegani, humoris, dekat dengan para muridnya, dan adil. Satu sifat Sang guru besar yang selalu diteladani oleh para muridnya adalah Beliau tidak pernah mau berdebat dengan orang lain.

Pernah suatu kali Beliau diundang oleh mantan muridnya untuk menghadiri pesta pernikahan yang diselenggarakan di Bandung. Ketika itu ia datang bersama muridnya. Karena pesta diadakan keesokan harinya, maka murid yang mengundang Sang guru hendak mempersiapkan sebuah kamar mewah kepada mereka. Namun, ternyata Shinshe Lo Siauw Gok lebih memilih tinggal di gubug reyot di jalan Situ Sawur, Bandung yang merupakan tempat tinggal muridnya yang sehari-harinya bekerja sebagai pengumpul koran bekas. Disana Siauw Gok terlihat lebih leluasa. Selama beberapa hari disana, Shinshe ini juga memberikan sejumlah uang untuk membantu keuangan muridnya. Dari cerita ini, kita bisa melihat kepribadian mulia dari sosok Beliau sebagai seorang ahli waris langsung Shinshe Lo Ban Teng.